rifandi275

Khutbah Jumat

Menjadi Agen Kebaikan KHUTBAH I الحَمْدُ ِللهِ اللَّطِيْفِ اْلمَنَّانِ، الْغَنِيِّ اْلقَوِيِّ السُّلْطَانِ، الحَلِيْمِ اْلكَرِيْمِ الرَحِيْمِ الرَّحْمَنِ، اْلمُحِيْطِ عِلْمَاٍ بِمَا يَكُوْنُ وَمَا كَانَ. أَحْمَدُهُ عَلَى الصِّفَاتِ اْلكَامِلَةِ اْلحِسَانِ، وَأَشْكُرُهُ عَلَى نِعَمِهِ وَبِالشُّكْرِ يَزِيْدُ اْلعَطَاءَ وَاْلاِمْتِنَانَ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلاَّ اللهَ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ المَلِكُ الدَّيَّان، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اْلمَبْعُوْثُ إِلَى اْلإِنْسِ وَاْلجَانِّ. اللهم صل وسلم عَلَى سيدنا محمد وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ مَا تَوَالَتِ اْلأَزْمَانُ. أَمَّا بَعْدُ فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ  Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah swt, Tuhan yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Hari ini, kita berkumpul di majelis Jumat ini untuk bersama-sama beribadah dan merenungi nikmat serta anugerah yang telah dikaruniakan kepada kita. Sejenak, mari kita hentikan aktivitas kita untuk mengingat bahwa setiap napas yang kita hirup, setiap langkah yang kita ambil, dan setiap rezeki yang kita nikmati adalah rahmat-Nya yang tak terhingga. Mari kita ungkapkan dengan ucapan ‘Alhamdulillahirabbil alamin’. Sebagai umat yang beriman, kita juga tidak boleh melupakan teladan luar biasa yang diberikan Allah kepada kita, yaitu Nabi Muhammad saw. Beliau merupakan contoh terbaik dalam berbuat kebaikan, bermuamalah dengan sesama, dan menjaga kebersihan hati. Beliau adalah sumber inspirasi dan petunjuk hidup bagi umat manusia. Dalam kesempurnaan ajaran-Nya, terkandung nilai-nilai kebaikan dan kebijaksanaan yang perlu kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu mari kita sampaikan shalawat kepadanya:   مَنْ صَلَّى عَلَىَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرًا    Artinya: “Siapa saja yang bershalawat kepadaku sekali, niscaya Allah bershalawat kepadanya sepuluh kali,” (HR Muslim).  Tak lupa, khatib mengajak kepada diri khatib pribadi dan seluruh jamaah untuk senantiasa memperkuat ketakwaan kita kepada Allah dengan mengamalkan kebaikan, menjauhi keburukan, dan senantiasa menjalankan perintah serta menjauhi larangan-Nya. Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah Pada kesempatan khutbah kali ini, khatib mengajak kepada kita semua untuk menjadi orang-orang yang mampu menebarkan kebaikan di lingkungan kita masing-masing. Kita harus mampu menjadi agen-agen kebaikan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi orang lain. Rasulullah saw telah menegaskan dalam haditsnya bahwa orang yang paling baik adalah mereka yang mampu memberi manfaat kepada orang lain. Sehingga keberadaan kita dalam komunitas kita masing-masing harus bernilai dan memberi sumbangsih positif. Jangan sampai keberadaan kita dianggap tidak ada, terlebih keberadaan kita selalu memberi masalah dalam lingkungan kita. Naudzubillah mindzalik.   Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surah Az-Zalzalah, ayat 7 dan 8:    فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ    Artinya: “Barangsiapa berbuat kebaikan sebesar zaroh pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan keburukan sebasar zaroh pun, niscaya ia akan melihat (balasan)nya pula.”    Rasulullah SAW juga bersabda yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah RA:   كُلُّ مَعْرُوْفٍ صَدَ قَةٌ     Artinya: “Setiap kebaikan adalah sedekah.”   Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah Kita perlu sadari bahwa dalam setiap langkah kecil yang kita ambil, terdapat potensi besar untuk menciptakan perubahan positif dan kebaikan dalam kehidupan ini. Menjadi agen kebaikan bukanlah tugas yang sulit atau eksklusif. Sebaliknya, itu adalah panggilan bagi setiap individu untuk membentuk kemaslahatan lingkungan sekitarnya dengan tindakan-tindakan positif. Bukan hanya dengan hal-hal yang besar, kebaikan bisa kita lakukan dimulai dari hal-hal yang kecil karena tindakan kecil kita bisa menanamkan benih kebaikan pada orang lain.    Tersenyum pada orang lain ketika bertemu, membantu tetangga, bersedekah dengan ikhlas, atau memberikan dukungan moral kepada teman yang sedang mengalami masalah adalah contoh perbuatan kecil yang dapat memiliki dampak besar. Tindakan-tindakan kecil ini jangan dianggap remeh karena sejatinya adalah sebuah kebaikan yang dapat menjadi sumber motivasi dan inspirasi bagi semua. Setiap tindakan kebaikan walaupun tidak memberikan manfaat langsung, tetapi bisa mengilhami orang lain untuk mengikuti jejak-jejak positif yang akan mewujudkan kebaikan pula.   Allah telah mengingatkan:   وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ    Artinya: “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al-A’raf: 56)   Dari ayat ini sudah jelas bahwa kita diperintahkan oleh Allah untuk menjadi menebar kebaikan dengan menghindari sifat perusak tatanan kehidupan. Kita diperintahkan untuk menjadi agen kebaikan, dan dengan upaya ini, maka kita akan dekat dengan Allah yang pada muaranya, kita akan dikarunia rahmat-Nya dalam kehidupan ini.  Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah Di era modern saat ini, berbuat kebaikan dan memberi inspirasi positif bagi orang lain sangatlah mudah. Dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kebaikan yang kita lakukan tidak hanya berdampak pada lingkungan sekitar kita. Namun kita bisa berbuat baik dengan mudah dan memberi dampak yang luas tanpa batas waktu dan tempat. Kebaikan-kebaikan bisa kita lakukan secara digital dengan berprilaku baik di media sosial. Caranya adalah dengan menjadikan media sosial tempat yang nyaman, sejuk, dan damai dengan konten-konten positif, jauh dari berita bohong (hoaks), ujaran kebencian, dan saling menjelekkan satu dengan yang lainnya.   Kita bisa memanfaatkan media sosial untuk memproduksi konten yang baik dan bisa dipertanggungjawabkan dan menghindari prilaku membagikan konten informasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan dan menimbulkan kegaduhan. Kita harus benar-benar selektif dalam membagikan informasi dengan memastikan kebenarannya melalui 3 hal yakni sanad (tingkat kepercayaan asal-usulnya), matan (isi informasinya), dan rawi (kredibilitas media pembawa beritanya). Selain itu, kita harus paham benar apa yang kita bagikan karena semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya. Allah berfirman:    وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗاِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا    Artinya: “Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kauketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS Al-Isra: 36).   Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah Berbuat kebaikan walaupun kecil akan lebih berdampak dari pada hanya berbicara saja tentang kebaikan saja. Sehingga perlu kita budayakan untuk mewujudkan kebaikan dalam wujud nyata alias bukan hanya wacana saja. Allah sendiri telah mengingatkan dalam Al-Qur’an bahwa Ia membenci orang-orang yang hanya berbicara namun tidak ada tindakan nyata:   يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِمَ تَقُوْلُوْنَ مَا لَا تَفْعَلُوْنَ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللّٰهِ اَنْ تَقُوْلُوْا مَا لَا تَفْعَلُوْنَ    Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?.Sangat besarlah kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan

Khutbah Jumat Read More »

LUQOTHOH

Tentang barang temuan LUQOTHOH Apa yang seyogyanya dilakukan pada barang luqothoh? Tata cara mengumumkan barang luqothoh Maka hendaknya dia melakukan yang paling maslahah dan paling bermanfaat dan layak bagi pemilik, berupa dua pilihan : Orang yang menemukan menanggungnya jika sudah menjadi miliknya (setelah diumumkan selama satu tahun), maka dia menanggung dengan mengganti barang yang sama atau kalau tidak menemukan maka mengganti seharga barang tersebut

LUQOTHOH Read More »

KHUTBAH JUMAT

“Pergantian Tahun Hijriyah: Momen Intropeksi Diri dan Menata untuk Masa Depan agar Lebih Baik” اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ نَوَّرَ قُلُوْبَ أَوْلِيَائِهِ بِأَنْوَارِ الْوِفَاقِ، وَرَفَعَ قَدْرَ أَصْفِيَائِهِ فِيْ الْأَفَاقِ، وَطَيَّبَ أَسْرَارَ الْقَاصِدِيْنَ بِطِيْبِ ثَنَائِهِ فِيْ الدِّيْنِ وَفَاقَ، وَسَقَى أَرْبَابَ مُعَامَلَاتِهِ مِنْ لَذِيْذِ مُنَاجَتِهِ شَرَابًا عَذْبَ الْمَذَاقِ، فَأَقْبَلُوْا لِطَلَبِ مَرَاضِيْهِ عَلَى أَقْدَامِ السَّبَاقِ، اللهم صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ الْبَرَرَةِ السَّبَاقِ، صَلَاةً وَسَلَامًا اِلَى يَوْمِ التَّلَاقِ. أَشْهَدُ أَنْ لَااِلَهَ اِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، شَهَادَةً صَفَا مَوْرِدُهَا وَرَاقَ، نَرْجُوْ بِهَا النَّجَاَةَ مِنْ نَارٍ شَدِيْدَةِ الْإِحْرَاقِ، وَأَنْ يَهُوْنَ بِهَا عَلَيْنَا كُرْبُ السِّيَاقِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَشْرَفُ الْخَلْقِ عَلَى الْاِطْلَاقِ، اَلَّذِيْ أُسْرِيَ بِهِ عَلَى الْبُرَاقِ، حَتَّى جَاوَزَ السَّبْعَ الطِبَاقَ. أَمَّا بَعْدُ، أَيُّهَا الْاِخْوَانُ أُوْصِيْكُمْ وَاِيَايَ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ، بِامْتِثَالِ أَوَامِرِهِ وَاجْتِنَابِ نَوَاهِيْهِ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. وَقَالَ أَيْضًا: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Memanjatkan puji syukur kepada Allah dan shalawat kepada Nabi Muhammad saw merupakan kewajiban yang harus disampaikan oleh setiap khatib dalam khutbahnya. Selain itu khatib juga memiliki kewajiban untuk menyampaikan dan mengingatkan jamaah tentang wasiat ketakwaan. Oleh karenanya pada momentum khutbah kali ini, khatib mengajak kepada seluruh jamaah untuk senantiasa memanjatkan puji syukur kepada Allah dan menyampaikan shalawat pada Rasulullah sekaligus meningkatkan ketakwaan kepada Allah. Bagaimana cara meningkatkan takwa? Yakni dengan senantiasa lebih semangat lagi menjalankan segala perintah Allah dan sekuat tenaga meninggalkan segala yang dilarang oleh-Nya. Dengan upaya inilah, kita akan mampu terus berada pada jalur yang telah ditentukan oleh agama sehingga tidak melenceng dan tersesat ke jalan yang tidak benar. Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Memang kehidupan kita di dunia ini seperti melewati sebuah jalan dengan lintasan penuh dengan dinamika dan tantangan. Medan terjal yang harus terus kita daki, hingga medan menurun dan mendatar, tak boleh membuat kita terlena. Perjalanan kita menyisakan masa lalu sebagai pengalaman, masa kini sebagai kenyataan, dan masa yang akan datang sebagai harapan. Sehingga kita butuh rambu-rambu agar kita senantiasa lancar dan selamat sampai ke tujuan dan ketakwaan lah rambu-rambu yang mampu memandu kita berada pada jalan yang benar dan bekal yang paling baik dalam perjalanan. وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوْنِ يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ “Berbekallah karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat,” (QS Al-Baqarah: 197) Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Dalam sebuah perjalanan panjang, kita haruslah menyempatkan diri berhenti istirahat untuk mengumpulkan kembali semangat dan tenaga guna melanjutkan perjalanan. Begitu juga dalam kehidupan di dunia, kita mesti harus menyediakan waktu untuk melakukan introspeksi, evaluasi, menghitung, sekaligus kontemplasi yang dalam bahwa Arab disebut dengan muhasabah. Pentingnya muhasabah ini, Sayyidina Umar bin Khattab pernah bertutur: حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوْا وَتَزَيَّنُوْا لِلْعَرْضِ الأَكْبَرِ وَإِنَّمَا يَخِفُّ الْحِسَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى مَنْ حَاسَبَ نَفْسَهُ فِى الدُّنْيَا “Hisablah diri (introspeksi) kalian sebelum kalian dihisab, dan berhias dirilah kalian untuk menghadapi penyingkapan yang besar (hisab). Sesungguhnya hisab pada hari kiamat akan menjadi ringan hanya bagi orang yang selalu menghisab dirinya saat hidup di dunia.” Dalam sebuah hadits riwayat Imam Tirmidzi, Rasulullah bersabda: الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ “Orang yang cerdas (sukses) adalah orang yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri, serta beramal untuk kehidupan sesudah kematiannya. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah SWT.” Sementara dalam Al-Qur’an Allah juga telah mengingatkan pentingnya melakukan introspeksi diri dengan melihat apa yang telah kita lakukan pada masa lalu untuk mengahadapi masa depan. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr ayat 18: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Dari perintah Allah dan Rasul serta nasihat dari para sahabat, kita bisa mengambil beberapa catatan penting tentang manfaat dari introspeksi diri ini. Setidaknya, ada 5 manfaat yang bisa kita rasakan dari upaya melakukan ‘charging’ (mengecas) semangat hidup melalui introspeksi diri ini. Pertama, sebagai wahana mengoreksi diri. Dengan introspeksi diri, kita akan mampu melihat kembali perjalanan hidup sekaligus mengoreksi manakah yang paling dominan dari perjalanan selama ini. Apakah kebaikan atau keburukan, apakah manfaat atau mudarat, atau apakah semakin mendekat atau malah menjauh dari Allah swt. Kita harus menyadari bahwa semua yang kita lakukan ini harus dipertanggungjawabkan di sisi Allah. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an: الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيْهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan” (Q.S. Yasin: 65) Kedua, upaya memperbaiki diri. Dengan introspeksi diri, kita akan mampu melihat kelebihan dan kekurangan diri yang kemudian harus diperbaiki di masa yang akan datang. Dengan memperbaiki diri, maka kualitas kehidupan akan lebih baik dan waktu yang dilewati juga akan senantiasa penuh dengan manfaat dan maslahat bagi diri dan orang lain. Ketiga, momentum mawas diri. Diibaratkan ketika kita pernah memiliki pengalaman melewati jalan yang penuh lika-liku, maka kita bisa lebih berhati-hati ketika akan melewatinya lagi. Mawas diri akan mampu menyelamatkan kita dari terjerumus ke jurang yang dalam sepanjang jalan. Allah berfirman: وَاَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاحْذَرُوْاۚ فَاِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوْٓا اَنَّمَا عَلٰى رَسُوْلِنَا الْبَلٰغُ الْمُبِيْنُ “Taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul serta berhati-hatilah! Jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (ajaran Allah) dengan jelas.” Keempat, memperkuat komitmen diri. Setiap orang pasti memiliki kesalahan. Oleh karenanya, introspeksi diri menjadi waktu untuk memperbaiki diri dan berkomitmen untuk tidak mengulangi kembali kesalahan yang telah dilakukan pada masa lalu. Jangan jatuh di lubang yang sama. Buang masa lalu yang negatif, lakukan hal positif hari ini dan hari yang akan datang. Rasulullah bersabda: مَنْ كَانَ يَوْمُهُ خَيْرًا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ رَابِحٌ. وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ مِثْلَ أَمْسِهِ فَهُوَ مَغْبُوْنٌ. وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ شَرًّا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ مَلْعُوْنٌ “Siapa saja yang hari ini

KHUTBAH JUMAT Read More »

BAGAIMANA HUKUM KASYAF DAN MIMPI

Tanya Jawab Agama Kasyaf dan mimpi bukanlah sesuatu yang bisa digunakan sebagai dalil secara syariat. Betapa 2 hal ini telah menyesatkan banyak manusia. 1. KASYAF Menurut Syeikh al-Jurjani di dalam kitab Ta’rifat (1178) : Makna kasyaf  secara lafadz adalah pengangkatan tabir, sedangkan secara istilah adalah mengetahui sesuatu yang ada di balik tabir berupa makna-makna yang gaib dan perkara-perkara yang berifat hakikat baik secara wujud ataupun penyaksian. Maka tidak boleh menjadikan apa yang diakui oleh manusia atau apa yang dia nukil dari Sebagian ahli kasyaf – tidak boleh dijadikan sebagai dalil syar’i yang dia berhujjah dengannya baik di dalam urusan akidah atau hukum-hukum yang lain. Imam Sya’roni menyebutkan di dalam kitab ath-Thobaqot al-Kubra (1/232): “Bahwasanya di sana terdapat beberapa ahli kasyaf yang kurang”. Syeikh ‘Illisy al-Maliki juga mengatakan di dalam kitab Fathul ‘Aly al-malik (1/45): “Ahli kasyyaf yang shohih termasuk ilmu hakikat”. Dari sini maka jelaslah bahwa terdapat kasyaf yang kurang dan tidak benar, maka bagaimana keduanya dibedakan? dan bagaimana menghukumi berdasar pada keduanya dengan adanya beberapa kemungkinan dan ketidakamanan. Syeikh ‘Illish al-Maliki berkata di dalam kitab Fath al-Aly al-Malik (1/45) “Sudah maklum diketahui setiap orang bahwa hadits tidak menjadi mapan kecuali dengan adanya sanad-sanad, berbeda dengan semisal kasyaf dan cahaya-cahaya hati, maka apa yang diriwayatkan Syeikh Sakhowi dari jama’ah Syeikh Ismail al-Yamani: Jika yang dimaksud adalah keabsahan lafadz, maka perkara tersebut tergantung pada sanad, jika tidak, maka perkataan tersebut dikembalikan kepada siapa yang mengucapkannya sebagaimana aslinya, agama Allah tidak ada penyimpangan di dalamnya, kewalian dan karomah-karomah tidak termasuk dalam hal ini, hanyalah kita kembalikan kepada para pemerhati urusan ini yang arif bijaksana.” Imam asy-Syathibi berkata di dalam kitab al-Muwafaqat: (4/83): “Ketahuilah bahwa Nabi itu dikuatkan dengan ‘ishmah/ penjagaan, didukung dengan mu’jizat yang menunjukkan kebenaran apa yang dia katakan dan keabsahan apa yang dia jelaskan, dan engkau memandang ijtihad yang muncul dari dia -tanpa diragukan lagi- terjaga, adakalanya bahwa ia tidak salah sama sekali, adakalanya pula hal itu tidak ditetapkan sebagai kesalahan jika suatu kefardluan. Maka bagaimana dugaanmu dengan selain nabi? Setiap apa yang dihukumi dengannya atau diberitakan tentangnya dari sumber mimpi dalam tidur atau kasyaf, apakah hal itu sama dengan wahyu yang disampaikan malaikat dari Allah ‘azza wa jalla, sedangkan umatnya, masing-masing dari mereka tidak ma’shum/ terjaga, mereka juga bisa salah, khilaf dan lupa, bisa jadi mimpi tersebut hanyalah mimpi kosong dan kasyafnya adalah tidak nyata, dan jika kebenerannya ia jadi jelas dalam kenyataan dan terbiasa dengan hal itu serta terhalau maka kemungkinan salah dan keraguan adalah tetap dan urusannya ini tadak sah untuk dijadikan hukum, dan juga jika semisal hal ini termasuk dalam penglihatan gaib maka ayat-ayat dan hadits-hadits menunjukkan bahwa hal gaib tidak diketahui kecuali oleh Allah semata sebagaimana dalam hadits berupa sabdanya SAW : (pada 5 hal yang tidak diketahui kecuali hanya oleh Allah kemudian beliau membaca : (Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dialah Yang menurunkan hujan… ) QS Luqman: 34. Allah ta’alaa berfirman dalam ayat lain: (Dan kunci-kunci semua yang gaib ada pada-Nya; tidak ada yang mengetahui selain Dia…) QS. Al An’am: 59. Dalam hal ini para rasul dikecualikan sebagaimana disebut dalam ayat lain : (Dia mengetahui yang gaib, tetapi Dia tidak memperlihatkan kepada siapa pun tentang yang gaib itu. Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya…) QS. Jin 26-27. Maka tetaplah orang yang selain mereka masuk dalam hukum pertama yaitu tidak mengetahuinya Imam asy-Syathibi sungguh telah menjawab: itulah dari apa digunakan dalil oleh sebagian manusia berkenaan dengan hujjah dengan kasyaf. Maka jika kau mau, jadikanlah hal itu sebagai rujukanl. MIMPI Adapun mimpi ialah apa yang dilihat manusia di dalam tidurnya. Al-Faqih Imam Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan di dalam kitab al-Minhaj al-Qawim hal 368 “Tidaklah dianggap perkataan orang yang mengatakan: Nabi SAW mengabariku bahwa besok masuk bulan Ramadhan”, maka secara Ijma’ tidak boleh mengamalkan dengan hasil mimpinya baik itu berkenaan dengan masalah puasa ataupun masalah lain. Sekelompok ulama telah menjelaskan hal itu juga, diantara mereka ada Syeikh Zakaria al-Anshari di dalam kitab Asnaa al-Mathalib syarh raudhi tholib (1/410), al-‘Allamah asy-Syarbini di dalam kitab al-Iqna’ (1/216) dan di dalam kitab Mughi al-Muhtaj dan selain beliau berdua. Imam an-Nawawi berkata di dalam kitab Majmu Syarh al-Muhadzab (6/281) (far’) Andaikan saat itu adalah malam ke-30 dari bulan Sya’ban sedangkan manusia tidak ada yang melihat hilal, lantas ada satu orang yang bermimpi melihat Nabi Muhammad SAW dan beliau SAW berkata kepadanya: “malam ini adalah awal bulan Ramadhan”, maka tidak sah berpuasa dengan berdasar pada mimpi ini,  baik bagi orang yang bermimpi tersebut maupun orang lain. Disebutkan oleh al-Qadhi Husein di dalam kitab al-Fatawaa dan disebutkan pula oleh ulama lain dari Ashhab kita, dan dinukil oleh al-Qadhi ‘Iyadl Ijma’ atas hal itu, dan sungguh telah aku menjelaskan hal itu dengan menyebutkan dalil-dalilnya di dalam awal syarh Shahih Muslim dan mukhtasharnya bahwa syarat rawi, orang yang mengabarkan, dan orang yang menyaksikan, hendaknya mereka semua dalam keadaan sadar/terjaga tatkala menerima berita. Dan ini merupakan perkara yang disepakati (ijmak) para ulama. Dan tentunya pada tidur tidak ada sikap terjaga dan juga tidak ada sifat ad-dobth, maka ditinggalkannya mengamalkan mimpi ini, dikarenakan ketidakberesan dhobth sang perawi, bukan karena keraguan terhadap mimpinya. Di sana terdapat sekelompok pembohong, perusak, atau orang-orang yang urusannya bercampuraduk atau orang yang hidup dengan hayalan atau yang semisal mereka secara dusta berhujjah dengan kasyaf atau mimpi yang mereka tidak mengalami dan merasakannya, dengan hal tersebut mereka menyesatkan manusia dari hakikat-hakikat. Maka seyogyanya tidak memperhatikan kebohongan-kebohongan mereka, tidak percaya dengan perkataan-perkataan mereka. Taufiq berada di kekuasaan Allah SWT. Refrensi الكشف والرؤيا المنامية ليست مما يجوز الاحتجاج به شرعاً وكم أضلت هاتان القضيتان من أناس 1- الكشف: قال الجرجاني في “التعريفات” (1178) : (الكشف في اللفظ : رفع الحجاب ، وفي الاصطلاح: هو الإطلاع على ما وراء الحجاب من المعاني الغيبية والأمور الحقيقية وجوداً وشهوداً) . فلا يجوز أن يجعل ما يدَّعيه الإنسان أو ما ينقله عن بعض أهل الكشف دليلاً شرعياً يحتج به في العقائد أو غيرها من الأحكام . وذكر الشعراني في “الطبقات الكبرى” (1/232) : ( أن هناك أصحاب كشف ناقص ) وقال الشيخ عليش المالكي في “فتح العلي المالك” (1/45) : [أَهْلُ الْكَشْفِ الصَّحِيحِ مِنْ

BAGAIMANA HUKUM KASYAF DAN MIMPI Read More »

Shopping Cart